Clearing House Pengadaan
Ada gula ada semut. Pepatah usang itu sepertinya tidak berlaku di unit kerja pengadaan barang dan jasa. Kebanyakan Aparatur Sipil Negara (ASN) menghindar dari tugas ini. Mereka berusaha, untuk tidak ditunjuk sebagai Pejabat Pembuat Komitmen, Pejabat Pengadaan atau anggota Kelompok Kerja Pemilihan. Padahal, poin dan koinnya jelas.
Fenomena itu terungkap pada hari kedua pelaksanaan kegiatan Rapat Koordinasi (Rakor) Pengadaan Barang dan Jasa Provinsi NTT di Kupang, Kamis (7/4).
“Banyak ASN tidak mau ditugaskan sebagai pelaku pengadaan. Jadi anggota Kelompok Kerja Pemilihan, apalagi. Dikasi gula (insentif atau honor) pun, mereka tidak mau. Ada juga ketakutan, kekhawatiran terkait dampak hukum yang ditimbulkan akibat berpraktik sebagai pengelola,” begitu sebut Ronis Mayopu,S.Sos,M.Si memulai sesi materi Clearing House Pengadaan Barang Jasa yang dibawakan Dr.Iwan Herniwan selaku Direktur Advokasi Pemerintah Daerah.
Lebih lanjut Kepala Bagian Pembinaan dan Advokasi Biro PBJ NTT itu menggambarkan kondisi lain di daerah. Kondisi ini cukup menghambat upaya pemenuhan target nasional 60 persen Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang dan Jasa (JF PPBJ) di Tahun 2023 nanti. Pada sisi lain, terdapat tenaga handal potensial, yang senyatanya telah lama bergelut dalam dunia pengadaan. Tetapi, mereka tidak bisa diangkat dalam jabatan fungsional, karena terbentur ketentuan batas umur. Ini problem.
Dalam materi yang dipandu Frederik Kiuk ST,M.Eng itu, Iwan berkesempatan menjelaskan latar belakang, pengertian dan tujuan keberadaan Clearing House Pengadaan. Bersama stafnya Rizky Emirsyah, dijelaskan juga pembentukan sekretariat, alur proses, tahap pembentukan hingga mekanisme monitoring dan evaluasi Clearing House.
Clearing House Pengadaan sendiri adalah forum untuk menyelesaikan permasalahan pengadaan, dengan melibatkan pemangku kepentingan dan pihak lain yang dibutuhkan. Menggunakan data dan informasi, sehingga dapat memberikan solusi yang utuh. Dapat dipandang sebagai perluasan fungsi dari klinik pengadaan.
Dibentuk dengan tujuan untuk mempercepat pengambilan keputusan dalam menyelesaikan permasalahan secara komprehensif, efektif dan transparan. Untuk meningkatkan kapabilitas kementerian, lembaga dan pemerintah daerah dalam menyelesaikan permasalahan pengadaan. Termasuk, untuk mengurangi risiko terjadinya sanggah, sanggah banding, pengaduan, sengketa dan permasalahan hukum. Akhirnya, dapat meningkatkan dan menjaga kepercayaan publik terhadap proses pengadaan.
Mempertimbangkan keterbatasan sumberdaya manusia dan kondisi di daerah itu, forum Rakor PBJ Provinsi NTT merekomendasikan beberapa langkah solutif. Forum menilai, perlunya dilakukan revisi terhadap Peraturan Menteri PAN RB Nomor 29 Tahun 2020, tentang Jabatan Fungsional Pengelola Pengadaan Barang dan Jasa. Juga, diperlukan revisi atas Peraturan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 21 Tahun 2020, tentang Pembinaan Kepegawaian.
Lebih teknis, direkomendasikan agar diberikan dispensasi umur, pada ketentuan batas usia 53 Tahun, untuk pengangkatan dalam JF PPBJ melalui mekanisme perpindahan dari jabatan lain. Agar diberi waktu hingga usia tertinggi 55 tahun. Untuk ketentuan pengalaman berpraktik paling lama dua tahun, agar diturunkan menjadi satu tahun saja. Tidak saja itu. LKPP diminta untuk kembali membuka skema pengangkatan JF PPBJ melalui jalur inpasing. Dengan ketentuan batas usia yang sama yakni 56 tahun, terutama, dikhususkan bagi pokja pemilihan pada UKPBJ di daerah.
Pemberian kesempatan mengikuti ujian ulang, juga diminta sebanyak tiga kali bagi peserta uji kompetensi JF PPBJ yang dinyatakan tidak lulus. Seraya melakukan percepatan pelaksanaan uji kompetensi level satu bagi sumberdaya manusia UKPBJ di daerah.
Selanjutnya, LKPP melalui Pemerintah Provinai NTT, diminta untuk terus melakukan pendampingan kepada pemerintah kabupaten dan kota, untuk pemenuhan target dimaksud. Untuk memastikan semua itu, pemerintah kabupeten dan kota juga diberikan kewajiban. Mereka diwajibkan memenuhi target 30 persen JF PPBJ di tahun 2022, kemudian target 30 persen lagi di Tahun 2023.
Terhadap keresahan dampak hukum yang ditimbulkan, diamanatkan pembentukan Clearing House di daerah. Untuk kepentingan penyelesaian permasalahan pengadaan barang dan jasa. Clearing House Pengadaan dapat dioptimalkan, sebagai wadah pemecahan masalah dan pemberian solusi perlindungan hukum kepada pelaku pengadaan di daerah.