Perlindungan Semesta Pekerja Informal NTT
Dasa Cita ke empat Pasangan Melki - Johni menargetkan 100.000 warga pekerja informal terdaftar bertahap dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Pada Februari 2024, Badan Pusat Statistik NTT mencatat 2,20 juta (74,17%) penduduk bekerja pada sektor informal dari total pekerja sebesar 2,96 juta orang. Umumnya mereka bekerja serabutan, bukan sebagai ASN, petani, nelayan, asisten rumah tangga, tukang dan pekerja migran.
Sementara itu, Balai Pelayanan Perlindungan dan Pekerja Migran Indonesia (BP3MI) Provinsi NTT mencatat, 125 Pekerja Migran Indonesia (PMI) asal NTT telah meninggal dunia di luar negeri selama 2024. Sejak Januari hingga April 2025, sebanyak 49 PMI dari NTT telah dipulangkan dalam keadaan tak bernyawa.
Padahal, BPJS Ketenagakerjaan sudah menyediakan solusi proteksi melalui Program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM). Diuntukan bagi empat segmen pekerja yaitu Penerima Upah, Bukan Penerima Upah, Pekerja Jasa Konstruksi dan Pekerja Migran Indonesia. Tetapi, cakupan Universal Coverage Jamsostek kita baru mencapai 33,7 persen.
Dengan premi Rp.16.800,- per bulan, mereka sudah dapat terlindungi dari kecelakaan kerja, kematian, kesakitan, pelayanan pemulihan hingga beasiswa sampai tuntas kuliah bagi dua anak. Sepanjang didaftarkan oleh pemberi kerja, pekerja berhak mendapatkan santunan dengan nilai manfaat mencapai 174 Juta Rupiah.
Pemerintah Provinsi NTT memang telah mengeluarkan kebijakan melalui Peraturan Gubernur NTT Nomor 30 Tahun 2018 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program JKK dan JKM Bagi Pekerja Harian Lepas, Borongan dan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu Pada Sektor Jasa Konstruksi.
Untuk penegasan optimalisasi penerapannya, telah juga dikeluarkan Instruksi Gubernur NTT Nomor 2 Tahun 2019. Terbaru, sudah terbit Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor 400.5.7/765/Keuda tanggal 21 Februari 2025, terkait perlindungan jaminan sosial pekerja sektor jasa konstruksi di daerah. Namun, Kebijakan Perlindungan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Informal ditengarai masih menjumpai sekurangnya tiga problem.
Pertama, belum terpadunya sebaran data pekerja informal. Hasil monitoring dan evaluasi Kementerian Dalam Negeri bersama BPJS Ketenagakerjaan per 31 Desember 2024 menunjukan, hanya 15.493 proyek dari total 91.620 atau baru 16,87 persen pekerjaan konstruksi di daerah terdaftar dalam kepesertaan.
Data tenaga kerja informal juga berbeda antar kementerian dan lembaga hingga pemerintah daerah. Misalnya, Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) sebagai data utama penerima Bantuan Sosial (BanSos) belum sepenuhnya valid. Masih ditemukan data penerima BanSos yang ternyata telah meninggal dunia, namun masih tercatat. Fakta lainnya, penerima bantuan sosial ternyata adalah orang yang seharusnya tidak berhak menerima seperti PNS, kepala desa, bahkan direktur.
Kedua, kurangnya pemahaman manfaat program dan hak pekerja. Kebanyakan penyedia kerja khawatir dengan iuran karena dianggap membebani produksi. Lazimnya, pengusaha langsung memberikan sumbangan spontan saat musibah pun duka. Demikian halnya para pekerja, sepanjang bisa diterima bekerja dengan imbal upah secukupnya, mereka enggan untuk menuntut tambahan hak konstitusional.
Terbatasnya pendidikan, skill juga usia, menempatkan pekerja informal berada dalam kondisi rentan beragam tindakan diskriminatif. Kondisi ini menunjukan bagaimana absurdnya garansi kepada pekerja informal. Padahal, mereka berisiko kehilangan perlindungan kesehatan dan tunjangan yang sangat dibutuhkan bersama keluarga.
Ketiga, regulasi daerah belum memberikan perlindungan menyeluruh. Peraturan Gubernur NTT Nomor 30 Tahun 2018 masih terbatas melindungi pekerja harian lepas, borongan dan perjanjian kerja waktu tertentu pada sektor jasa konstruksi. Faktanya, belum menyentuh pekerja informal rentan lainnya, semisal pekerja migran.
Karenanya perlu diperluas, untuk menjamin risiko kerugian akibat kecelakaan, kecacatan, ketidakmampuan bekerja dan tingginya beban biaya pengobatan individu. Jika wafat, keluarga tidak perlu turut kehilangan penghidupan tanpa perlindungan finansial, jatuh dalam kelompok miskin baru, potensial menambah angka kemiskinan ekstrem.
Atlernatif Rekomendasi
Untuk optimalisasi niat mulia Gubernur dan Wakil Gubernur NTT periode 2025-2029, menggunakan Metoda USG (Urgency, Seriousness, Growth) dapat ditawarkan tiga alternatif kebijakan.
Atlernatif Pertama, Konsolidasi Sebaran Data Pekerja Informal. Melalui Badan Perencanaan Pembangunan Riset dan Inovasi Daerah NTT, perlu dilakukan konsolidasi data menyeluruh bersama Badan Pusat Statistik juga staheholder pentahelix lainnya. Pemadanan Satu Data Indonesia by name by address oleh Dinas Komunikasi dan Informatika NTT perlu melibatkan setidaknya peran aktif Dinas Ketenegakerjaan, Dinas Sosial, Dinas Kesehatan, Dinas Pekerjaan Umum, bersama Biro Pengadaan Barang dan Jasa NTT.
Atlernatif Kedua, Peningkatan Sosialisasi dan Edukasi kepada Pengusaha dan Pekerja Informal. Perlunya kolaborasi antara BPJS Ketenagakerjaan bersama kementerian terkait dan kelompok asosiasi pekerja, untuk meningkatkan pemahaman mengenai pentingnya Program JKK dan JKM bagi pekerja sektor infomal. Masifnya edukasi akan menambah pengertian, kesadaran dan trust ihwal pentingnya perlindungan melalui beleid ini.
Atlernatif Ketiga, Revisi Peraturan Gubernur NTT Nomor 30 Tahun 2018. Penyesuaian produk hukum daerah ini memungkinkan dijamahnya seluruh cakupan pekerja informal yang bahkan belum terdata. Kebijakan baru tersebut perlu mewajibkan seluruh perusahaan pemberi kerja dan karyawan terdaftar dalam kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan. Pengetatan pengawasan serta kejelasan sanksi guna memastikan kepatuhan ketentuan ini. Dapat juga ditetapkan sistem laporan online yang aksesibel, premi fleksibel dan inklusif, kemudahan klaim, hingga insentif bagi pengusaha yang taat.
Memperhatikan tingkat urgensinya, dampak dan kemungkinan isu di atas berkembang maka rekomendasi ketiga yaitu Revisi Peraturan Gubernur NTT Nomor 30 Tahun 2018 dapat dilakukan terlebih dahulu, untuk memberikan kepastian hukum bagi para pekerja informal. Rekomendasi ini juga dapat segera dilakukan (efektif) dan tidak memerlukan anggaran besar (efisien), karena hanya memasukkan beberapa tambahan klausul ke dalam regulasi yang sudah ada. Sementara itu, rekomendasi pertama dan kedua dapat dilakukan paralel dan bertahap pada tahun yang sama.