Perjanjian Lisbon Dan Akibatnya
Perjanjian antara Portugal dan Belanda yang dikenal dengan nama Tratado de Lisboa 1859 (Perjanjian Lisbon Tahun 1859) berkonsekuensi hukum dan politik hingga hari ini. Portugis harus kehilangan sebagian besar wilayahnya di Provincia Timor e Solor yang meliputi Pulau Flores, Solor, Adonara dan mengakui kepemilikan Belanda di Pulau Timor bagian barat dari batas yang disepakati.
Informasi itu digambarkan Fransisco Soarez Pati dalam bukunya berjudul Perjanjian Lisbon Tahun 1859 dan Akibatnya Bagi Pulau Timor, Flores, Solor dan Sekitarnya (1847-2024). Disampaikan pria yang akrab disapa Sisco saat berjumpa Gubernur Melki Laka Lena di Rumah Jabatan Gubernur NTT pada Rabu Malam (11/6). Ikut mendampingi asistennya, Tino Adjo.
Ditambahkan bahwa, Portugis juga harus melepaskan klaim kepemilikannya atas pulau Lomblem (Lembata), Pantar dan Ombai. Sementara itu, Belanda yang secara de facto hanya menguasai seluruh Timor bagian barat (kecuali wilayah enklave Oecusse, Ambenu, Noemuti), Maukatar, Pulau Sabu dan Rote semakin memperluas wilayah kolonialnya di Residentie Timor en Onderhoorigheden (Keresidenan Timor dan Pulau-pulaunya). Dilakukan dengan menyerahkan Maubara kepada Portugal serta melepaskan klaim kepemilikannya atas pulau Atauro (Pulau Kambing), mengakui kepemilikan Portugal di Pulau Timor bagian timur dengan memberikan sejumlah ‘kompensasi’ kepada Gubernur Kolonial Portugis di Dili tanpa sepengetahuan Pemerintah Lisbon.
Perjanjian Lisbon itu menjadi cikal bakal terbentuknya Provinsi Nusa Tenggara Timur di Indonesia dan Republica Democrática de Timor Leste. Dengan kata lain dari Provincia Timor e Solor dan Residentie Timor En Onderhoorigheden kini menjadi Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia dan República Democrática de Timor Leste.
Dipaparkan juga gambaran umum karya tulisnya berbahasa Portugis dan Prancis yang untuk pertama kalinya dirilis Lisboa Imprensa Nacional Portugal (Lembaga Pers Nasional Portugal) Tahun 1861. Dokumen ini telah membuka lembaran sejarah kolonial Portugis dan Belanda mengenai status kepemilikan kedua belah pihak di insulindias ilhas (Kepulauan Nusa Tenggara).
Dokumen yang tidak banyak diketahui generasi saat ini baik di NTT, Indonesia maupun di Timor Leste tersebut bernama Tratado de Demarcação e Troca de Algumas Possessões Portuguesas e Neerlandezas No Archipelago de Solor e Timor atau Perjanjian Demarkasi dan Pertukaran Beberapa Kepemilikan Portugis dan Belanda di Kepulauan Solor dan Timor.
Lebih lanjut dijelaskan, dokumen ini memuat perjanjian antara Portugis dan Belanda, ditandatangani tanggal 20 April 1859 oleh António Maria de Fontes Pereira de Melo sebagai utusan resmi Dom Pedro V dari Portugal dan Maurits Jan Heldewier sebagai utusan resmi Raja William III dari Belanda. Perjanjian ini telah mengubah total status kepemilikan Portugis dan Belanda atas sejumlah pulau di NTT seperti Pulau Timor, Flores, Solor, Adonara, Lomblem (Lembata), Pantar, Ombai serta Atauro (Pulau Kambing).
“Perjanjian Lisbon Tahun 1859 yang ditandatangani Portugal dan Belanda merupakan tindak lanjut dari kejahatan terbesar yang dilakukan Jose Joaquim Lopes de Lima yang baru menjabat sebagai Gubernur kolonial Portugis di Provincia Timor e Solor. Ia terjebak dalam diplomasi Belanda yang penuh keramahan dan tanpa persetujuan Pemerintah Lisbon, menerima sejumlah ‘uang’ dari Belanda guna menyerahkan beberapa wilayah teritorial Portugis yang meliputi Pulau Flores, Solor, Adonara dan sekitarnya kepada Belanda,” kata Putra Maumere lulusan S1 Fakultas Hukum Universitas Merdeka Malang tersebut.
Disebutkan bahwa buku ini merupakan kilas balik sejarah lepasnya pulau Flores, Solor, Adonara dan sekitarnya sebagai wilayah kolonial Portugis dan beralih menjadi wilayah kolonial Belanda. Penyerahan Flores, Solor, Adonara dan sekitarnya dijelaskan Sisco, mengambil karakter yang paling memalukan dalam sejarah perjalanan Bangsa Portugis.
Sisco yang pernah mengenyam pendidikan di Instituto Nebrija Madrid pada tahun 2021 itu lalu menerangkan sembilan bagian buku karyanya. Hasil karyanya itu dipersembahkan khusus bagi generasi muda NTT sebagai sumber literasi, untuk mengetahui akar sejarah daerahnya sendiri.
Gubernur NTT, Melki Laka Lena mengaku sangat tertarik dengan buku tersebut, usai menyimak dan berdiskusi dengan penulis yang berhasil mengulas salah-satu sejarah bangsa NTT. Gubernur menghargai sumbangansih karya penulisan yang berharga itu, untuk memperkaya literasi generasi muda bersama seluruh masyarakat NTT.
Gubernur Melki juga menyampaikan keinginannya untuk membedah isi karya itu lebih mendalam, sebagai upaya penyempurnaan pemahaman. Agar dapat diatur waktu dengan mengundang para ahli sejarah dan budaya, cendekiawan juga pakar lainnya. Gubernur tak lupa mengapresiasi kemampuan berbahasa Portugis, Spanyol dan Inggris Sisco Soarez yang juga adalah adalh seorang pengacara.